Beranda | Artikel
Al-Jamil yang Maha Indah
Kamis, 4 Oktober 2012

Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

AL-JAMIL, YANG MAHA INDAH

DASAR PENETAPAN
Nama Allah Azza wa Jalla ini disebutkan dalam sebuah hadits yang shahîh, dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قاَلَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu. Ada seorang yang bertanya, “Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?). Rasulullâh bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain[1] .

MAKNA AL-JAMIL SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah indah/bagus [2]. Adapun al-Fairûz Abâdi rahimahullah, beliau menjelaskan bahwa asal kata nama ini mengandung pengertian keindahan dalam tingkah laku dan rupa.[3] Sementara itu, pakar bahasa yang lain yang bernama Ibnul Atsîr rahimahullah lebih lanjut menjelaskan bahwa al-Jamîl berarti Yang Maha Indah perbuatan-perbuatan-Nya dan sempurna sifat-sifat-Nya [4].

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-JAMIL
Nama Allah Azza wa Jallaal-Jamîl ini menunjukkan kesempurnaan keindahan Allah Azza wa Jalla pada semua nama, sifat, dzat dan perbuatan-Nya.[5] Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas dengan mengatakan, “Semua urusan Allah Azza wa Jalla itu indah dan baik, dan Dia Azza wa Jalla memiliki nama-nama yang Maha Indah serta sifat-sifat yang Maha Bagus dan Sempurna”.[6]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini secara lebih terperinci pada keterangan berikut, “Keindahan Allah Azza wa Jalla ada empat tingkatan; Pertama: keindahan dzat, kedua: keindahan sifat, ketiga: keindahan perbuatan dan keempat: keindahan nama. Atas dasar itu, semua nama Allah Azza wa Jalla Maha Indah, seluruh sifat-Nya Maha Sempurna, dan semua perbuatan-Nya mengandung hikmah, kemaslahatan (kebaikan) dan keadilan serta rahmat (kasih-sayang). Adapun keindahan dzat dan apa yang ada padanya, maka ini adalah perkara yang tidak bisa dicapai dan diketahui oleh selain Allah Azza wa Jalla. Semua makhluk tidak memiliki pengetahuan tentang itu kecuali (sedikit) pengetahuan yang dengan itulah Dia Azza wa Jalla memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba yang dimuliakan-Nya. Sesungguhnya keindahan-Nya itu terjaga dari (segala bentuk) perubahan, terlindungi dengan tabir selendang dan sarung (kemuliaan), sebagaimana hadits Rasulullâh n dari Allah Azza wa Jalla(hadits qudsi): “Kebesaran itu adalah selendang-Ku dan keagungan itu adalah sarung-Ku…”[7] . Maka bagaimana anggapanmu terhadap keindahan yang dibalut dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan kemuliaan?

Dari makna inilah kita dapat memahami sebagian dari arti keindahan dzat-Nya, karena seorang hamba akan terus meningkat pengetahuannya tentang Allah Azza wa Jalla, mulai dari mengenal perbuatan-perbuatan-Nya meningkat menjadi mengenal sifat-sifat-Nya, dan dari mengenal sifat-sifat-Nya meningkat menjadi mengenal dzat-Nya. Jika dia menyaksikan sesuatu (yang merupakan pengaruh baik) dari keindahan perbuatan-Nya, dia akan menjadikannya sebagai (argumentasi) yang menunjukkan keindahan sifat-Nya, kemudian keindahan sifat ini dijadikannya sebagai (landasan) yang menunjukkan keindahan dzat-Nya.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa segala pujian hanya milik Allah Azza wa Jalla. Tidak ada seorang makhluk-pun yang mampu membatasi/menghitung sanjungan bagi-Nya. Dia k adalah seperti pujian yang ditujukan-Nya untuk diri-Nya sendiri. Dialah yang berhak diibadahi, dicintai dan disyukuri karena dzat-Nya, dan Dia mencintai, memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Sesungguhnya kecintaan, pujian, sanjungan dan pengesaan-Nya terhadap diri-Nya sendiri, pada hakikatnya merupakan pujian, sanjungan, cinta dan tauhid (yang sebenarnya). Maka Allah Azza wa Jalla adalah seperti pujian yang ditujukan untuk diri-Nya sendiri dan di atas pujian yang ditujukan para makhluk kepada-Nya; dan Dia Azza wa Jalla dicintai dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya indah dan dicintai, meskipun di antara obyek perbuatan-Nya ada yang dibenci dan tidak disukai-Nya. Namun, tidak ada pada perbuatan-Nya sesuatu yang dibenci dan dimurkai. Tidak ada satu pun di alam ini yang dicintai, dipuji karena dzatnya kecuali Allah Azza wa Jalla. Semua yang dicintai selain Allah Azza wa Jalla, jika kecintaan tersebut mengikuti kecintaan kepada-Nya Azza wa Jalla, yaitu mencintainya karena Allah Azza wa Jalla, maka kecintaan ini adalah kecintaan yang benar. Adapun selain itu adalah kecintaan yang batil (salah).

Inilah hakikat ilâhiyyah (penghambaan diri kepada-Nya). Karena itu, dzat yang diibadahi dengan sebenarnya, dialah yang dicintai dan dipuji dzat-Nya. Terlebih lagi, jika semua itu dihubungkan dengan (mengingat dan menyakini) kebaikan, limpahan nikmat, kelembutan, pengampunan, pemaafan, anugerah dan rahmat-Nya.

Untuk itu, hendaknya seorang hamba meyakini bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Azza wa Jalla, kemudian mencintai dan memuji-Nya karena dzat dan kesempurnaan-Nya. Selanjutnya, hendaknya dia meyakini bahwa pada hakekatnya tidak ada yang memberikan kebaikan berupa berbagai macam kenikmatan, yang lahir maupun dan batin, kecuali Allah Azza wa Jalla. Karena itu, dia mencintai-Nya dan serta memuji-Nya atas semua itu. Dengan itu, dia mencintai Allah Azza wa Jalla dari kedua segi itu secara bersamaan.

Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Azza wa Jalla, maka kecintaan kepada-Nya tidak seperti kecintaan kepada selain-Nya. Kecintaan yang disertai ketundukan itulah (hakekat) penghambaan diri kepada-Nya, yang merupakan tujuan penciptaan makhluk-Nya. Karena ubûdiyyah (penghambaan diri) merupakan bentuk kecintaan yang utuh, disertai ketundukan yang sempurna, yang tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Sehingga, menyekutukan Allah Azza wa Jallatermasuk perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah Azza wa Jalla dan tidak diterima amal perbuatan pelakunya”[8].

Di tempat lain, beliau t berkata, “Kecintaan itu memiliki dua sebab yang membangkitkannya, yaitu keindahan dan pengagungan, dan Allah Azza wa Jallamemiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatu pun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena dzatnya kecuali Allah Azza wa Jalla”[9].

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-JAMIL
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Di antara bentuk pengetahuan yang paling mulia adalah mengenal sifat Allah Azza wa Jallaal-jamâl (Maha Indah). Ini adalah pengetahuan istimewa yang dimiliki hamba-hamba Allah Azza wa Jalla. Semua dapat manusia mengenal-Nya dengan satu sifat dari semua sifat-Nya, akan tetapi yang paling sempurna pengetahuannya (tentang Allah Azza wa Jalla) adalah yang mengenal-Nya dengan sifat kesempurnaan, keagungan dan keindahan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam semua sifat-Nya. Seandainya semua makhluk memiliki rupa yang paling indah, kemudian keindahan mereka lahir dan batin itu dibandingkan dengan keindahan Allah Azza wa Jalla, maka sungguh (perbandingannya) lebih rendah daripada perbandingan pelita yang redup cahayanya dengan (terangnya cahaya) lingkaran matahari. Cukuplah (yang menunjukkan kesempurnaan) keindahan-Nya bahwa semua keindahan lahir dan batin di dunia dan akhirat adalah termasuk jejak-jejak penciptaan-Nya, maka bagaimana pula dengan dzat yang bersumber dari-Nya (semua) keindahan ini?”[10].

Kemudian, pengaruh positif mengimani nama Allah Azza wa Jalla yang Maha Agung ini sebenarnya dapat kita ambil melalui penjelasan makna hadits di atas.

Sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan” mengandung dua unsur landasan Islam yang agung, yaitu pengetahuan tentang sifat Allah Azza wa Jalladan pengamalan konsekuensi sifat tersebut. Yang pertama, kita mengenal Allah Azza wa Jalladengan sifat Maha Indah yang tidak diserupai oleh satu makhluk-pun, kemudian yang kedua kita beribadah kepada Allah Azza wa Jalladengan sifat indah yang dicintai-Nya, dalam ucapan, perbuatan dan akhlak.

Allah Azza wa Jalla mencintai seorang hamba yang menghiasi ucapannya dengan kejujuran, menghiasi hatinya dengan keikhlasan, kecintaan, selalu kembali dan bertawakkal kepada-Nya, menghiasi anggota badannya dengan ketaatan kepada-Nya, dan menghiasi tubuhnya dengan memperlihatkan nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadanya, seperti dalam berpakaian, membersihkan tubuh dari najis dan kotoran, memotong kuku, dan sebagainya. Jadi, hamba yang dicintai Allah Azza wa Jalla adalah hamba yang mengenal Allah Azza wa Jalla dengan sifat-Nya yang Maha Indah, selanjutnya beribadah kepada-Nya dengan keindahan yang ada pada agama dan syariat-Nya.

Pengertian hadits di atas, selain keindahan pada pakaian dan alas kaki yang ditanyakan oleh Sahabat di atas, secara umum juga menyangkut keindahan pada segala sesuatu. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُحِبُ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلىَ عَبْدِهِ

Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya. [11]

Allah Azza wa Jalla suka melihat terlihatnya bekas nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya, karena ini termasuk keindahan yang dicintai-Nya, dan ini juga termasuk bentuk syukur kepada-Nya. Bersyukur adalah bentuk keindahan batin. Karena itu, Allah Azza wa Jalla suka melihat keindahan lahir yang berupa tampaknya bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.

Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla menurunkan pakaian dan perhiasan kepada para hamba-Nya untuk memperindah penampilan lahir mereka, dan Dia Azza wa Jalla memerintahkan mereka agar bertakwa, karena ini akan memperindah batin mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang lebih baik [al-A’râf/7:26]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang keadaan penduduk surga yang Allah Azza wa Jalla anugerahi keindahan lahiriyah dan batiniyah :

وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا

Dan Dia menganugerahkan kepada mereka kecerahan (wajah) dan kegembiraan (hati). Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera [al-Insân/76:11-12]

Allah Azza wa Jallamenghiasi wajah mereka dengan kecerahan, menghiasi batin mereka dengan kegembiraan, dan menghiasi tubuh mereka dengan pakaian sutera.[12]

Penutup
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar berkenan menganugerahkan kepada kita semua keindahan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar. Sesungguhnya Dia Maha Indah dan Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 91).
[2]. Mu’jamu Maqâyîsil Lughah (1/427).
[3]. Al-Qâmûsul Muhîth (hlm. 1266).
[4]. An-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts wal Atsâr (1/812).
[5]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ (hlm. 291).
[6]. Syarh Shahîh Muslim (2/90).
[7]. HR Abu Dâwud (no. 4090) dan Ibnu Mâjah (no. 4174), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albâni.
[8]. Al-Fawâid hlm. 182-183
[9]. Al-Jawâbul Kâfi hlm. 164
[10]. Al-Fawâid hlm. 181-182
[11]. HR at-Tirmidzi no. 2819 dan al-Hâkim no. 7188, dinyatakan shahîh oleh al-Hâkim dan disepakati adz-Dzahabi, juga dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan al-Albâni.
[12]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 293-294


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3392-al-jamil-yang-maha-indah.html